Di bus kota, anak itu menyanyi. Seorang ibu yang memberinya uang, menegurnya. ”Bapak kamu mana? Seharusnya bukan kamu yang mencari uang, tapi bapak kamu. Bilang ke bapak kamu ya,” kata si ibu itu.
Tapi, tetap saja, anak itu menyanyi di bus kota setiap hari. Banyak anak menyanyi di bus kota. Tak hanya menyanyikan lagu anak-anak, tapi juga lagu bertema percintaan yang seharusnya dinyanyikan orang dewasa. Ada pula yang khusus menyanyikan lagu-lagu rohani non-Muslim. Selalu lagu rohani non-Muslim, setiap ia tampil. Anak lain juga ada yang selalu menyanyikan lagu rohani non-Muslim. Dan yang dinyanyikan, meski mereka bernyanyi di tempat yang berbeda, adalah lagu-lagu yang sama. Meski tak banyak yang memberi uang, sikap mereka juga sama; tetap tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Seolah mereka mempunyai ‘guru menyanyi’ yang sama.
Di Bandung, bersama ‘orang tua’, anak-anak ‘hidup’ di sudut Jl Juanda. Siang hari mereka berlindung payung di trotoar, jika lampu merah menyala, mereka siap beraksi mengamen di sisi mobil-mobil yang berhenti. Di Jakarta, pemandangan serupa bisa kita lihat di banyak tempat. Ditunggui orang tua di tempat tertentu, anak-anak turun naik bus kota. sebelum menyanyi mereka menyebarkan amplop ke setiap penumpang. Amplop ditulisi permakluman bahwa mereka adalah anak yatim yang butuh tetap sekolah dan makan, karenanya memerlukan uluran tangan. Melihat tarikan pena lewat tulisan di amplop itu, bisa dipastikan bukan mereka yang menulis, melainkan ‘orang tua’.
Rupanya, cukuplah bagi para ‘orang tua’ itu bahwa setelah mereka hafal beberapa lagu yang diperoleh lewat bangku sekolah, tak perlu lagilah melanjutkan sekolah. Kalau ‘orang tua’ zaman dulu di kampung-kampung — dan kini pun masih ada– setelah anaknya sekadar bisa baca tulis, ya sudah, tak perlu lagi melanjutkan sekolah. Bagi ‘orang tua’ jenis ini, lebih baik segera meminta anaknya bekerja, karena bisa membantu keluangan keluarga.
Kalau mereka hidup di jalanan dengan benar, mereka akan mendapat banyak warna kehidupan yang penuh dengan kejujuran. Tapi, jika mereka di jalanan yang tidak benar, mereka akan semakin jauh tersesat. Seorang kawan memberitahukan, di jalanan ada prinsip kecerdasan jalanan, yang di dalamnya ada banyak hikmah kehidupan. Mereka yang hidup di jalanan yang benar, mereka menempatkan hati sebagai raja. Hatilah yang membimbing mereka untuk terbuka, jujur, berani, mempunyai belas kasih, dan sebagainya. Tapi jika hati tak menjadi raja bagi diri, maka anak yang hidup di jalanan akan jahat, tak jujur, berani untuk hal-hal negatif, hilang rasa belas kasihnya, dan sebagainya.
Pemahaman yang keliru tentang sesuatu bisa membuat orang menempatkan hati bukan sebagai raja diri. Maka, orang itu bisa mempunyaai agenda tersembunyi terhadap setiap hal yang ia lakukan. Dalihnya sih melakukan aksi kemanusiaan, tapi secara sembunyi-sembunyi ingin memurtadkan orang. tentu tak serta-merta saat itu, melainkan secara perlahan. Langkah pertama membuat orang yang ditolong tertarik, kemudian menaruh rasa percaya, lantas menyirami jiwa dengan nasihat kehidupan, baru kemudian memperkenalkan tuhan baru. Pertama orang dibuat percaya (believe) pada perkataan dan perbuatan, baru kemudian percaya (trust) pada diri.
Caranya, mengadakan aksi kemanusiaan di lokasi pengungsian yang belum disentuh relawan lain, lalu menyerahkan bantuan secara manusia –tidak dilempar dari udara, melainkan memanggil para pengungsi ke tenda dan dipersilakan duduk di kursi, diajak bicara, baru diberi bantuan. kalau di dalam bungkusan batuan itu ada simbol-simbol agama yang tak sesuai dengan agama orang yang ditolong, cukup dijawab dengan pernyataan ”tersalurkan secara tak sengaja.” Di Jakarta, para tokoh agama boleh menyejukkan suasana –karena itu memang bagian dari rtanggung jawabnya, di lapangan, aksi kemanusiaan dengan agenda tersembunyi perlu jalan terus. Hasilnya, mungkin baaru bisa dilihat 4-5 tahun ke depan. Itulah investasi kemanusiaan, yang kata mereka mendapat peluang cukup lebar ketika Aceh dilanda bencana, dan perlu terus ditingkatkan.
Sasaran yang paling mudah tentu anak-anak. Karena masih bisa dibentuk. Mereka tahu, banyak contoh sukses, ketika seorang guru mampu membuat manusia unggul, karena si guru itu mendidiknya –dengan pendekatan yang benar– ketika di manusia unggul itu masih anak-anak. Maka, bagi mereka, tak ada salahnya peduli pada anak-anak jalanan di Jakarta dengan memberi kesadaran baru tentang kehidupan, lewat nyanyian-nyanyian. Bagi mereka, biarkanlah anak-anak itu tetap di jalanan, karena mungkin sudah kadung kerasan di jalanan, asal selama mereka mengamen, yang dinyanyikan adalah lagu-lagu rohani non-Muslim. Nun di Aceh sana, anak-anak seusia mereka juga sedang diajari menyanyi lagi, agar bisa melupakan penderitaan akibat bencana tsunami yang telah memisahkan mereka dari dekapan keluarga.
Di sekolah-sekolah darurat, selain belajar yang sesungguhnya, mereka juga bermain dan bernyanyi. Saya cuma berharap, setelah anak-anak Aceh itu semakin bisa menyanyi, janganlah mereka dibawa keluar Aceh diminta turun-naik bus kota untuk mengamen atau malah dibujuk bernyanyi di gereja-gereja. Melainkan menyanyikan Hikayat Perang Sabil untuk anak-cucu mereka. proe12@republika.co.id