RSS

HUKUM ACARA PERDATA

10 Apr

BAB  I

PENGERTIAN , SIFAT DAN SUMBER HUKUM ACARA PERDATA

A.    Pengertian

Menurut Dr. Sudikno Mertokusumo , S, H Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaiman cara nya menjamin hukum perdaat materiil dengan perantaraan Hakim.[1]

Dapat dismpulkan bahwa hukum acara perdata adlah rangkaian peraaturan yang membuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap Pengadilan dan carra bagaimana Pengadialn itu harus bertindak , satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.[2]

Adapun objek dari ilmu pengetahuan hukum perdata adalah Keselluruhan peraturan yang bertujuan melaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan hukum perdata materiil dengan perantaraan kekuasaan negara.[3] Maksud dari perantaraan negara adalah dengan melalui badan atau lembaga peradilan , yaitu suatu baadan yang bebas dari  pengaruh siapapun atau bagi semua pihak yang bertujuan mencegah  eigenrichting (Main Hakim Sendiri).

B.     SIFAT

Ketentuan Pengajuan

Awal terjadinya proses peradilan yang  berasal dari pengajuan yang diajukan oleh pihak yang berkepentingan, sedangkan hakim hanya menunggu datangnya ajuan tuntutan akan hak seseorang yang berkepentingan, maksudnya pengadilan tidak dapat memerintah, meminta maupun memaksa seseorang untuk mengajukan perkara.

Ketentuan tersebut berbeda dengan acara hukum pidana yanag tidak mengagantungkan adanyan pengajuan dari korban yang dirugikan. Seperti halnya tindakan poplisi sebagai penegak hukum untuk mencari dan mengajukan orang-orang yang telah melakukan pelanggaran atau kejahatan terkecuali kejahatan pelanggaran atau kejahatan yang hanya bisa dijerat dengan adnya aduan daari pihak korban seprti halnya perbuatan zina yang merupakan delik aduan.

Bentuk

1.Tertulis (termuat dalam sebagian Undang-undang)

2. Tidak tertulis (menurut adat kebiasaan yang dianut oleh para hakim dalam melakukan pemeriksaan perkara)[4]

Dalam hukum acara perkara perdata hakim tidak boleh menolak untukk memeriksa dan mengadili perkara tersebut dengan alasan bahwa hukum tidak jelas atau kurang jelas. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam pasal 14 ayat 1 UU No. 14 Tahun 1970 “ Pengadilan tidak boleh menolak untuk menoak untuk memriksa sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas , melainkan untuk memriksa dan mengadilinya”

Seandainya tidak ditemukan hukum tertulis  maka hakim wajib menggali , mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Hal ini sesuai dengan isi ketentuan dalam Pasal 27 ayat 1 UU No. 14 Tahun 1970 “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilanwajib menggali , mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”.

C.    SUMBER HUKUM ACARA PERDATA

Hingga masa sekarang ini kita masih belum mempunyai hukum acara perdata Nasional yang dirancang secara khusus , hukum acara perdata kita sekarang dapat dianggap belum teratur secara sistematis (terpencar).

Berdasarkan Ketentuan yang termuat dalam pasal 5 Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951, maka hukum acara perdata yang berlaku di negara kita yaitu yang termuat dalam :

  1. Het Herienze Indonesich reglement (HIR yang diperbarui, S.1848 No. 44) untuk daerah Jawa dan madura. Sekarang sering digunakan.
  2. Rechtsreglement Buitengewesten (R.Bg./ Reglemen Daerah Seberang, s.1927No.227) untuk daerah di luar Jawa dan Madura.

Selain itu sumber huku perdata antara lain:

–      RV (Reglement of de Bburgelijke Rechtsvordering). Tapi ketentuan ini sekarang sudah berlaku lagi, kecuali apabila benar-benar dirasa perlu dalam praktek peradilan.

–      RO (Reglement of de Reccchterlijke Organisatie in Het beleid der Justitie in Indonesia/ Reglemen tentang Organisasi Kehakiman S. 1847 No.23 )

–      BW Buku IV , dan selebihnya yang terdapat tersebar dalam BW dan Peraturan Kepailitan.

–      UU Nomor 14 Tahun 1970, Tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

–      UU No. 20 tahun 1947 Tentang Ketentuan Banding untuk Daerah Jawa dan Madura.

–      Yurisprudensi, contohnya adlah putusan MA tanggal 14 April 1971 No.99 K/Sip/1971, yang menyeragamkan hukum acaara dalam perceraian bagi mereka yang tunduk pada BW.

–      Adat Kebiasaan yang dianut oleh para Hakim dalam melakukan pemeriksaan perkara perdata.

–      Perjanjian Internasionalcontohnyaa yaitu perjanjian kerjasama di bidang pengadialan antara Republik Indonesia dengan Kerajaan Thailand (KEPRES No.6 Tahun 1978) yang isinya antara lain memuat tentang adanya kesepakatan menagadakan kerjasama dalam menyampaikan dokumen pengadilan dan memperoleh bukti-bukti dalam hal perkara.

–      Perkara Hukum Perdata dan Dagang

–      Dotrin atau ilmu pengetahuan , sebagai sumber tempat hakim dapat menggali hukum acara perdata

–      Surat edaran Mahkamah Agung (SEMA) sepanjang mengatur hukum acara perdata dan hukum perdata Materiil.

Tetapi tentang dooktrin dan surat edaran bukanlah hukum melainkan sumber hukum tempat kita dapat menggali hukum . Jadi terhadap doktrin dan surat edaran ini Hakim tidaklah terikat seperti terhadap sumber yang lainnya.

 

BAB II

PIHAK YANG BERPEKARA

A.    Pihak yang berpekara

Setiap orang berhak untuk berpekara di depan Pengadilan kecuali orang yang belum dewwasa atau amnesia (sakit   ingatan). Bagi orang yang belum dewsa harus diwakili orang tuanya dan bagi yang sakit ingatan diwakili pengampunya. Suatu badan hukum boleh menjadi pihak dalam suatu perkara , dan yang bertindak untuk dan atas nama badan hukum adalah Direkturnya. Adapun negra diwakili oleh salah satu departemen yang ada hubungannya dengan masalah  yang dihadapi , misalnya Departemen  Dalam Negeri , maka biasanya yang akan menghadapi dalam persidangan yang mewakili negara adalah Kepala Bagian  Hukum darri Departemen yang berskutan dengan membawa suatu surat kuasa khusus dari Menteri.

Pihak yang bersengketa dapat dibagi menjadi dua yaitu :

  1. Penggugat

Orang yang merasa bahwa haknya telah dilanggar

  1. Tergugat

Orang yang ditarik  ke muka persidangan kaarena ia dianggaap  atau  dirasa melanggar hak seseorang, karena belum tentu hak oran yang terlanggar haknya benaar-benaar telah dilanggr haknya.

Adapun mengenai wakil yang mewakili seseorang harus mempunyai surat kuasa khusus yang dibuat dibaawah tangan ataupun secara autentik di hadapan Notaris yang memuat kalimat “Surat  kuasa ini diberikan dengan hak Subtitusi (menggantikan)”. Apabila dalam surat kuasa tersebut tawk tercantum maka danm kemudian ternyata dilimpahkan kepada orang lain maka pelimpahan ini tak sah (alias batal)..

Tentang penunjukan seseorang untuk menjadi wakil salah satu pihak dalam bertindak di muka  Pengadilan ini di negara kita sekarang ini bukanlah merupakan suatu keharusan . Dengan demikian pada waktu sekarang keadaannya ialah bahwa seseoorang yang berperkara di muka pengadilan leluasa untuk diwakili oleh orang lain atau tidak, dan yang dapat menjadi wakil adalah setiap orang.

Hal tersebut berbeda dengan keadaan zaman Belanda , di mana untuk Hoggerechshaf dan Raad Van Justitie para pihak yang berperkara diwajibkan mewakilkan kepada seorang ahli hukum yang  telah mendapatkan izin dari pemerintah untuk menjadi Procureur (pokrol). Kewajiban mewakilkan ini bagi penggugar dinyatakan dalam pasal 106 ayat 1 B.Rv, dan bagi tergugat dalam pasal 109 R.Bv.

Ada tiga alasan mengapa ketentuan tersebut belum dapat diterapkan dalam negara Indonesia sekarang ini.[5] :

  1. Bahwa para ahli hukum yang menjadi wakil pihak yang berperkara tentunya harus mendapat upah yang biasanya tidak rendah. Sehingga akibatnya maka pembuatan perkara akan menjadi mahal, dan hal ini bertentangan dengan pasal 4 ayat 2 UU No. 14 Tahun 1970 yang isinya “Peradilan dilakukan dengan sederhana , cepat , dan biaya ringan”
  2. Bahwa negara  Indonesia pada waktu sekarang ini masih kekurangan tenaga ahli hukum, yang dapat melayani pembelaan semua peerkara perdata di seluruh Indonesia .
  3. Selalu adanya awakil daari pihak-pihak yang berperkara , hakim tidak dapat berhadapan langsung dengan orang yang berkepentingan sendiri. Sehingga hakim tak dapat membaca keinginan orang tersebut secara menyeluruh.

Pihak yang berperkara dibedakan menjadi

  1. Partij  Materiil

Pihak yang mempunyai kepentingan langsung di dalam perkara yang bersangkutan atau subyek dari hubungan yang dipersengketakan.

  1. Partij  Formil

Pihak yang berrtindak untuk kepentingan orang lain . Contoh : wali yang bertindak atas nama anak yang belum dewasa.

Sedangkan orang yang mempunyai perkara menghadap sendiri ke persidangan.

B.     Turut sertanya pihak ketiga dalam suatu perkara

Adakalanya terdapat pihak ketiga yang ada dalam suatu perkara yaitu penggugat , tergugat, dan pihak ketiga. Hal ini terjadi karena pihak ketiga turut  campur dalam perkara ketika penggugat dan tergugat  sedang berperkara dalam persidangan. Dan keturutsertaan pihak ketiga disebut Interventie.Meski dalam HIR dan R. Bg. Tak disinggung namun tidak berarti keturutsertaannya tak  diperkenankan. Dan proses persidangan dengan adanya opihak ketiga harus dilakukan berdasarkan hukum acara yang tidak  tertulis , dengan alasan bahwa pelaksanaan kewajiban dan hak dalam hukum perdata dilakukan dengan tepat , maka sudah selayaknya dianggap sah.

Keturutsertaan tersebut dapat dibagi menjadi:

  1. Tussenkomst, Turut  sertanya pihak ketiga ke dalam suatu proses untuk membela kepentingannya sendiri.

Contoh : A dan B bersengketa atas kepemilikan sesuatu dan C turut campur untuk menyatakan bahwa sesuatu tersebut adalah miliknya.

  1. Voeging, Turut sertanya pihak ketiga dalam suatu proses untuk membela salah satu pihak.

Contoh :

A dan B menanggung renteng berutang kepada C . B digugat oleh C kemudian A membantu pihak B.

  1. Vrijawaring , Turut sertanya pihak ketiga dalam suatu proses dengan maksud untuk membela salah satu pihak.

Contoh : A meminjam uang B dengan jaminan C , kalau C digugat B, C  menarik  A supaya dapat bebas dari akibat buruk suatu keputusan baginya oleh hakim.

BAB III

PEMERIKSAAN PERKARA PERDATA PADA PENGADILAN TINGKAT PERTAMA

  1. Tugas hakim

Hakim diangkat dan diberhentikan oleh kepala negara (Pasal 31 UU No. 114 Tahun 1970). Dengan demikian kebebasan kedudukannya dihapkan terjamin, tidak dapat dipengaruhi oleh lembaga-lembaga lain, sehingga diharapkan nantinya dapat mengadili dengan seadil-adilnya tanpa ada rasa takut pada pihak siapaun.

Dalam peradilan perdata tugas hakim adalah mempertahankan tata hukum perdata menetapkan apa yang ditentukan oleh hukum. Tugas pokoknya adalah menerima, memreriksa, dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadannya.

Hakim dalam eksistensinya dibagi menjadi dua :

  1. Hakim aktif (sebagai ketua proses persidangan yang membantu kelancaaran proses persidangana dari awal sampai akhir)
  2. Hakim pasif (ruang lingkup perkaara yang diajukan pada hakim ditentukan oleh para pihak yang berperkara bukan dari hakim , hakim hanya membantu dalam tercapainya suatu keadilan).

Sesuai dengan Pasal 178 ayat 2 dan 3 HIR (Pasal 189 ayat 2 dan 3R.Bg.) “Hakim wajib mengadili seluruh gugatan dan dilarang menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih daripada yang dituntut”

  1. CARA MENGAJUKAN DAN MEMBUAT GUGATAN

Gugatan berbeda dengan permohonan. Gugatan muncul dari adanya duatu persengketaan sedangkan permohonan. Dalam gugatan hakim berfungsi mengadili dan memutuskan antara mana pihak yang benar dan salah. Sedangkan dalam permohonan hakim berfungsi hanya untuk memberi jasa sebagai orang tenaga tata usaha negara. Hakim tersebut mengeluarkan putusan decclaratior, suatu putusan yang bersifat menetapkan atau menerangkan saja. Seperti halnya permohonan pengangkatan anak , wali, pengampu dan sebagainya.

Dalam hukum acara perdata dikenal  adanya  dua kewenangan dalam mengadili antara lain adalah :

  1. Kewenangan Mutlak (Kompetensi Absolut), yaitu wewenang badan Pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan lain, baik dalam pengadilan yang sama (antara Pengadilan Tinggi dan Negeri) maupun dala peradilan yang sama (antara peradilan agama dan Peradilan Negeri) . Jadi kewenangan dalam mengadili ditentukan manakah pihak yang berhak mengadili atau tidak.

Bila suatu perkara diajukan pada seorang hakim maka secara mutlak tidak berwenang memeriksa perkaara tersebut secara exofficio untuk memeriksanya, dan tidak tergantung pada ada tidak adanya eksepsi dari tergugat tentang ketidakwenangannya.setiap saat selama persidangan berlangsung dapat diajukan tangkisan bahwwa hakim tak beerwenang memeriksa perkara tersebut.

  1. Kewenangan Relatif (Kompetensi Relatif), yaitu mengatur tentang pembagian kekuasaan mengasili antar pengadilan yang serupa atau sejenis (Pengadilan Bukit Tinggi dengan Pengaadilan Paadang Panjang). Dengan demikian weewenag relatif ini akan menjawab pertanyaan perngadilan yang berada di mana yang berwenagn untuk mengadili perkara yang berdangkutan. Dalam hal ini akan berkaitan dengan wilayah hukum suatu pengadilan. Jika seseoraang digugat di nuka hakim yang tidak berwenang secaara relatif memeriksa perkara tersebut apabila mengajukan tangkisan.bahwa hakim tak berhak menangani perkara teersebut , dan tangkit\san tersebut dapt diajukan paada sidang pertama atau setidaknya bbelum mengajukan tangkisan lain..

Gugatan harus diajukan ke pengadilan tempaat tinggal tergugat (Actor Seequitor Forum Rei ). Dan dalam hal ini terdapat beberapa pengecualian antara lain yaitu :

  1. Bila tempat tinggal tergugat tak diketahui   maka gugatan diajukan ke Pengadilan  Negeri tempat kediaman penggugat.
  2. Bila tergugat terdiri dari 2 orang atau lebih , dan mereka tinggal pada tempat yang berlainan , maka guagtan dapat diajukan pada tempat tinggal salah satu seorang tergugat.
  3. Bila yang digugat terdiri daari orang-oranag berutaang dan penanggung , maka gugatna diajukan kepada Pengadilan Negeri di tempat orang ynag beutang .
  4. Bila tempat tinggal dan tempat kediaman atua orang yang digugattidak diketahui atau tak diketahui maka gugatan diajukan ke tampat tinggal peenggugat.
  5. Dalam hal keadaan nomor diatas , apabila gugatannya mengenai barng tetap maka gugatan diajukan ke pengadilan tempat di mana barang tetap (tak bergerak) tersebtu berada. Asas ini dekenal dengan sebutan asas Actor sequuitor forum sitei
  6. Kalau kedua belah pihak memillih tempat tinggal khusus dengan akta yang tertulis maka penggugat bila ingin mengajukan gugatan kepada pengadilan negeri di tempat yang telah dipilih dalam akta tersebut.
  7. Pembatalan perkawinan

Dalam pembuatan gugatan maka surat gugatan harus juga dilengkapi dengan Pettium (tuntutan , yaitu hal-hal yang ingin diputuskan)dan gugatan harus jelas dan terang (posita atau fundamentum Petendi).

  1. PEMERIKSAAN PERKARA PERDATA DI PENGADILAN NEGERI
  1. a.      Tindakan –tindakan yang mendahului pemeriksaan  di muka pengadilan.

Setelah surat gugatan lengkap , maka penggugat mendaftarkan suraat gugatnya disertai dengan salinan untuk disampaikan pada tergugat bersama dengan surat paanggilan daari Pengadilan Negeri . lalu Panitera akan mencatat setiap perkara perdata dalam daftar perkara.

Pada waktu memmasukkan surat gugatan tersebut, maka penggugat di haruskan membayar biaya perkara. tapi tentang biaya perkara ini ada pengecualiannya, yaitu bagi mereka yang tidak mampu . bagi mereka yang tidak mampu dimungkinkan untuk beracara secara cuma-cuma dengan jalan mengajukan permohonan izin kepada Ketua Pengadilan Negeri , yang disertai pula dengan surat keterangan tak mampu dari seorang pejabat , lurah, dan camat.

Dalam ketentuan wewenang untuk menaksir persekot biaya perkara diberikan kepada ketua pengadilan negeri. Tapi dalam praktek , mungkin bisa karena kesibukan ketua, maka wewenang tersebut dilimpahkan kepada Panitera.

Setelah penggugat memasukkan gugatannya dengan disertai membayar biaya perkara  maka tinggal menunggu waktu saja.

  1. b.      Tindakan-tindakan yang dapat dilaksanakan selama proses persidangan.

Selama proses persidangan maka dapat dilakukan adnra Sita Jaminan , hakim tidak memerintahkan untuk meletakkan sita jaminan apabila tidak ada permohonan tentang sita jaminan dari pihak penggugat . sesuai dengan pasal 178 ayat 3 HIR “ Hakim dilarang akan menjatuhkan putusan perkara yang tiada dituntut , atau akan meluluskan lebih daripada yang dituntut”

Adapun macam-macam sita dibagi menjadi:

  1. Sita Revindicatoir (Revindicatoir Beslag / Pasal 226 HIR)

Kata Revindicatoir berasal dari kata revindiceer , yang berarti mendapatkan (kembali haknya), yaitu merupakan penyitaan atas suatu barang yang bergerak milik kreditur (penggugat ) sendiri. Termasuk orang yang dikenakan sita revindiccator ini adalah setiap orang yang mempunyai hak reklame, yaitu hak daripada penjual barang untuk meminta kembali barangnya apabila harga tak dibayar.

  1. Sita Conservatoir (Conservatoir Beslag/ Pasal 227 HIR)

Yaitu penyitaan atas barang milik debitur dengan maksud supaya barang tersebut tidak dihilangkan atau dipindahtangankan selama perkara sedang berlangsung.

  1. Sita Eksekutorial (Eksekutorial Belanda)

Penyitaan barang sebagai pendahuluan suatu eksekusi dari putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dengan maksud barang tersebut akan dilelang di muka umum untuk memenuhi putusan pengadilan yang tidak dituruti secara sukarela oleh pihak yang dikalahkan. Dalam HIR tak ada penjelasan yang menerangkan sita  ini akan tetapi dapat dilakukan atas dasar kekuatan keputusan pengadilan.

  1. Sita Maritaal (Maritaal Beslag / Pasal 823 RV)

Sita yang berasal dari istri terhadap barang suami baik yang bergerak atau tidak sebaagai jaminan untuk memperoleh bagiannya sehubungan dengan guggatan perceraian .

  1. Sita Gadai (Pand Beslag/Pasal 751 RV)

Sita gadai semacam sita jaminan yang dimohonkan oleh orang yang menyewakan tanah atau rumah , agar supaya diletakkan suatu sitaan terhaadap perabot rumah tangga pihak penyewa guna menjamin pembayaran uang sewa yang harus dibayar. Dalam hukum acara perdata kita maka sita ini termasuk sita konservatior.

  1. c.       Pemeriksaan di muka persidangan

1. Perihal Gugur Dan Verstek

Gugatan akan gugur apabila penggugat tak hadir fan tidak menyuruh kuasanya untuk menghadap di pengadilan negeri pada hari sidang yang telah ditentukan , meskipun ia telah dipanggil dengan patut . Karena gugatan gugur , penggugat dihukum untuk membayar biaya perkara. Oleh karena pada waktu memasukkan gugatan ,penggugat telah membayar biaya biaya , maka harus diperhitungkan apakah persekot itu cukup kurang atau bahkan lebih.

Pihak yang menggugat yang perkaranya digugurkan , diperkenankan untuk mengajukan gugatannya sekali lagi setelah ia terlebih dahulu membayra biaya perkara yang baru.

Jikalau pada hari sidang pertama yang telah ditentukan tergugat tidak hadir ataupun tidak menturuhwakilnya untuk datang menghadiri persidangan sedangkan ia telah ia telah dipanggil dengan patut maka gugatan diputuskan dengan verstek.

Putusan verstek adalah pernyataan bahwa tergugat tidak hadir , meskipun ia menurut hukum acara harus datang . Verstek ini hanya dapat dinyatakan  kalau tergugat tidak hadir pada sidang hari pertama.[6]

Berdasarkan Pasal 126 HIR , di dalam kejadian tersebut di atas , pengadilan negeri sebelum menjatuhkan sesuatu putusan  , dapat juga memanggil sekali lagi pihak yang tidak datang itu. Ini bisa saja jikalau misalnya hakim  memandang perkaranya terlalu penting buat diputus begitu saja di luar persidangan baik digugurkan maupun verstek. Ketentuan pasal ini sangat bijaksana terutama bagi pihak yang tidak berpengetahuan dan tempat tinggalnya jauh.

2. Usaha Hakim Untuk Mendamaikan Kedua Belah Pihak

Dalam persoalan gugat, terdapat dua atau lebih pihak yang satu sama pihak yang lain bersengketa. Menurut ketentuan pasal 130 ayat 1 HIR, hakim sebelum memeriksa perkara tersbut, harus berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak. Malah usaha perdamaian itu dapat dilakukan sepanjang proses berjalan, bahkan dalam taraf pemeriksaan banding oleh pengadilan tinggi perdamaian itu akan tetap diusahakan.

Peranan hakim dalam mendamaikan ini sangat penting. Putusan ini merupakan jalan yang paling baik, khususnya bagi para pihak dan masyarakat pada umumnya, disini sengketa selesai sama sekali, prosesnya berjalan dengan cepat dan ongkosnyapun menjadi lebih ringan, selain dari pada itu permusuhan antara kedua belah pihak yang beperkara menjadi berkurang.[1]

prosedur perdamaian

a.Tidak perlu dimasukkan kedalam berita acara pesidangan.

b.Cukup dicatat hasil pedamaian itu saja.[2]

3. Jawaban Tergugat,Eksepsi, Dan Gugat Balik

Apabila usaha hakim untuk mendamaikan kedua belah pihak ternyata tidak berhasil, maka hakim mulai dengan membacakan surat-surat yang dikemukakan oleh para pihak, yang dimaksud dengan surat-surat ini adalah permohonan gugat dan “kalau ada” jawaban dari tergugat. Dikatakan kalau ada, karena berdasarkan pasal 121 ayat 2 HIR kalau mau maka tergugat memajukan surat jawaban. Kalau tidak ada surat jawaban, tergugat dalam persidangan diberi kesempatan memajukan secara lisan.

Didalam HIR tidak ada ketentuan yang mewajibkan kepada tergugat untuk menjawab gugatan penggugat. HIR hanya menentukan bahwa tergugat dapat menjawab baik secara tertulis maupun secara lisan. Akan tetapi meskipun demikian, HIR sesungguhnya menghendaki jawaban tergugat diajukan secara lisan, karena pada waktu itu HIR dimsksudkan pada pemerintah belanda untuk orang-orang bumi putera yang dianggapnya masih bodoh.[3]

Apabila  dikehendaki jawaban yang diajukan secara tertulis, lalu dijawab kembali secara tertulis pula oleh pihak penggugat yaitu mengajukan replik selanjutnya replik ini dijawab kembali oleh pihak tergugat dengan duplik.

Jawaban yang diajukan oleh tergugat ada dua macam yaitu :

  1. Jawaban yang tidak langsung mengenai pokok perkara yang disebut tangkisan atau eksepsi

Eksepsi ini terdiri dari dua macam :

–          Eksepsi yang menyangkut  kekuatan absolut, yaitu eksepsi yang menyatakan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang mengadili perkara tertentu dikarenakan persoalan yang menjadi dasar gugatan tidak termasuk wewenang PN, akan tetapi merupakan wewenang badan peradilan yang lain.

–          Eksepsi yang menyangkut kekuasaan relatif, yaitu eksepsi yang menyatakan bahwa pengadilan tertentu adalah tidak berkuasa mengadili perkara tertentu, misalnya oleh karena perkara tersebut bukan merupakan wewenang PN di Bukit Tinggi,  akan tetapi merupakan wewenang PN Padang.(pasal 125,133, dan 136 HIR)

  1. Jawaban yang langsung mengenai pokok perkara.

Jawaban yang langsung mengenai pokok perkara, hendaknya dibuat dengan jelas, singkat dan berisi, langsung menjawab perkara (persoalan) dengan mengemukakan alasan-alasan yang mendasar.

Adapula eksepsi yang berdasarkan hukum materiil yang terbagi menjadi dua macam yaitu :

  1. Eksepsi declatoir , eksepsi yang menyatakan bahwa gugatan penggugat belum dapat dikabulkan misalnya karena penggugat memberikan penundaan pembayaran.
  2. Eksepsi peremtoir, eksepsi yang menghalangi dikabulkannya gugatan misalnya gugatan diajukan lampau waktu.

Seseorang tergugat dapat menggugat balik si penggugat sebagaimana yang telah diatur dalam HIR pasal132 adn b, kedua pasal ini memberi kemungkinan kepada tergugat untuk mengajukan gugat balik dalam semua perkara terhadap penggugat.Gugat balik (rekonvensi) diajukan bersama-sama dengan jawaban baik secara tertulis maupun secara lisan.Dalam prakteknya , gugat balasan dapat diajukan selama sebelum dimulai dengan pemeriksaan bukti, artinya belum pula dimulai dengan dengan pendengaran saksi[4].

4. Menambah Atau Mengubah Surat Gugatan

Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal 6 Maret 1974 No. 209 / K / Sip / 1970 telah memutuskan bahwa suatu  perubahan tuntutan tidak bertentangan dengan asas-asas hukum acara perdata, asal tidak mengubah atau menyimpang dari kejadian materiil walaupun tidak ada tuntutan subsidair untuk peradilan yang adil.

Sebaliknya dalam pengurangan gugatan, maka hal ini sentiasa akan diperkenankan oleh hakim, wajarlah kalau mengurangi gugatan ini diperbolehkan, karena tidak merugikan tergugat. Perubahan gugatan tidak dibenarkan pada tingkat dimana pemeriksaan perkara sudah hampir selesai, pada saat mana dalil-dalil tangkisan dan pembelaan sudah habis dikemukakan.[5]

5. Perihal Kumulasi Gugatan dan Penggabungan Perkara.

Kumulasi gugatan dalam H.I.R. sebenarnya tidak dijelaskan secara gamblang, mengenai kumulasi gugatan yang tidak ada kaitannya dengan perkara yang lain maksudnya seumpama ada perkara satu yang tidak sama dengan perkara lainnya tidak dibenarkan untuk digabungkan atau dikumulasi (putusan MA tanggal 28/1/”76 no.201 K/Sip/1974), namun sebaliknya jika ada perkara satu yang berkaitan erat dengan perkara lainnya maka tidak bertentangan dengan hukum acara perdata untuk diakumulasikan.[6]

Pada umumnya setiap perkara harus berdiri sendiri, penggabungan ini hanya diperkenankan jika masih dalam batas-batas tertentu yaitu apabila pihak penggugat atau para penggugat dan tergugat atau para tergugat yang masih itu-itu orangnya. Contoh ; A,B,dan C (penggugat) ingin menggugat D,E,F (tergugat) mengenau sebidang tanah yang dihuasai mereka. Bersamaan dengan gugatan itu diajukan pula gugatan mengenai utang D,E,F yang dituangkan dalam surat perjanjian utang piutang yang telah dibuat mereka. Jadi kedua gugatan itu dijadikan satu yang ditulis dalam satu surat gugatan saja.

 

PENUTUP

  • Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim.

-peraturan hukkum yg mengatur ttg bagaimana seorang mengajukan.

  • Sumber-sumber hukum acara perdata

–    RIB/HIR, Berdasarkan pasal 5 ayat 1 Undang-undang dar. 1/1951

–    Reglemen op de burgelicke rechvordering (Rv atau Reglemen), berdasarkan S. 1847 no. 52, 1849 no.63.

–    Yurisprudensi berdasarkan putusan MA  tanggal 14 april 1971 no. 99 K/Sip/ 1971

–    KUHperdata buku I dan IV ps 1865 sd 1993

–    Uu No. 20 tahun 1947 ttg acara banding di jawa madura

–    UU No. 5 thn 2004 ttg MA

–    UU. No.8 thn 2004 ttg PU

–    UU No. 4 thn 2004 ttg kehakiman

–    Doktrin

–    Perjanjian internasional

–    Surat Edaran MA

–    UU No. 1 tahun 1974 ttg perkawinan dan peraturan pelaksanaanya

–    UU No. 3 tahun 2006 ttg PA

  • Asas-asas hukum perdata
  1.   Hakim bersifat menunggu berdasarkan (pasal 118 HIR, 124 Rbg)
  2. Hakim bersifat pasif  berdasarkan pasal 5 UU no. 14 tahun 1970
  3. Persidangan bersifat terbuka untuk umum  berdasarkan pasal 17 dan 18 UU no. 14 tahun 1970
  4. Mendengar kedua belah pihak berdasarkan pasal 132a, 121 ayat 2 HIR, 145  ayat 2, 157 Rbg,47 Rv
  5. Putusan harus disertai alasan- alasan  berdasarkan pasal 23 UU 14/1970, 184 ayat 1, 319 HIR, 195, 618 Rbg
  6. Beracara dikenakan beaya berdasarkan pasal 4 ayat 2, 5 ayat 2 uu 14/1970, 121 ayat 4, 182, 183 HIR, 145 ayat 4, 192-194 RBG
  7. Tidak ada keharusan mewakilkan berdasarkan pasal 123 HIR, 147 Rbg
  8. Pengawasan putusan pengadilan lewat kasasi
  9. Pemeriksaan dlm dua tingkat dg instalasi lain
  • Pemeriksaan dalam sidang pengadilan biasanya dilakukan dengan beberapa tahapan-tahapan:

1. Usaha Perdamaian

2. Perihal jawaban tergugat, gugat-menggugat dan eksepsi

3. Perihal menambah atau mengubah surat gugat

4. Perihal pengikut sertaan pihak ketiga dalam proses

5. Perihal kumulasi gugatan dan penggabungan perkara.

 


DAFTAR PUSTAKA

–        M. Nur Rasaid. Hukum Acara Perdata. (Jakarta: Sinar Grafika Offsat.)

–        Soeroso. Tata Cara Dan Proses Persidangan. (Jakarta: Sinar Grafika offsat.)

–        Umar Said. Hukum Acara Peradilan Agama. (Surabaya:Cempaka)

–        R. Supomo, Hukum Acara Pengadilan Negeri. (Jakarta: pradnya paramita)

–        R. subekti. Hukum Acara Perdata.( Bandung: Bina Cipta.)

–        Sudikno Mertokusumo. Hukum Acara Perdata Indonesia. (Yogyakarta: liberty.)

–       Retno Wulan Sutantio,Hukum Acara Peradata dalam Teori dan Praktek, (Bandung : Alumni, 1986)

 


[1] R. Supomo, Hukum Acara Pengadilan Negeri. Jakarta: pradnya paramita. Hal 33

[2] M. Anshari MK…hal.55

[3] R. subekti. Hukum Acara Perdata. Bandung: bina cipta. Hal. 58

[4] M. Nur Rasaid. Hal,29-30

[5] Sudikno Mertokusumo. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: liberty. Hal. 79

[6]  Retno Wulan Sutantio,Hukum Acara Peradata dalam Teori dan Praktek, (Bandung : Alumni, 1986)hal. 55


[1] Sudikno Mertokusumo,  Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta : Liberty 1985)hal.2

[2] Wirjono Projodikoro, Hukum Acara Perdata Di Indonesia (Bandung : Sumur Bandung 1984) , hal 13

[3] Sudikno Mertokusumo,  Hukum Acara Perdata Indonesiai, hal. 5

[4] Wirjono Projodikoro, Hukum Acara Perdata Di Indonesia, hal .151

[5] Wirjono, 301

[6] R. Supomo, Hukum acara pengadilan negeri (jakarta : pradnya paramita .,1980) hal . 33

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada April 10, 2012 inci Makalah

 

Tinggalkan komentar